Sebenarnya banyak agenda menulis saya *tsah, bak penulis
professional saja. Tujuannya sih ingin berbagi pengalaman, siapa tahu ada yang
membutuhkan informasi berdasarkan pengalaman saya. Saya masih hutang pada diri
saya sendiri untuk melanjutkan operasi hernia Fatih, di benak saya juga sudah
ingin menulis pengalaman melahirkan Fatih dengan operasi sesar sebelum
melahirkan Fattah *sambil memperkenalkan nama adiknya Fatih.
Berkejaran dengan waktu hihihi sok puitis, mumpung Fatih dan
Fattah masih tidur, saya putuskan untuk bercerita pengalaman melahirkan Fattah
yang lagi-lagi dengan operasi sesar.
Di postingan sebelumnya, saya sudah pernah bercerita kalau
untuk persalinan kedua, dokter SPOG sudah menyatakan kemungkinan normal terbuka.
Tentu saja dengan syarat ketentuan berlaku *seperti iklan saja. Persalinan
normal dapat dilakukan dengan senormal-normalnya, kondisi bayi memungkinkan,
detak jantung tetap bagus dan persalinan tidak boleh diinduksi. Mungkin
maksudnya kalau terlalu lama bukaan, maka dengan terpaksa sesar harus
dilakukan.
Semua saya persiapkan, meski kurang maksimal. Saya bahkan
sempat browsing gerakan senam hamil dan mengikuti senam hamil di tempat bidan. Teman-teman
kantor berusaha mengurungkan niat saya untuk normal, karena yang pertama kan
sesar.
“Wis rak sah macam-macam, tanteku jarak 5 tahun aja
memaksakan normal, akhirnya malah jahit atas dan bawah (maksudnya jahitan
perutnya terbuka, jadi perut dan vaginanya dijahit)” ujar teman saya.
“Wis, enak sesar wae, normal kie loro banget. Aku wis
pengalaman, yang kedua langsung minta sesar wae” ujar teman yang satu lagi. Anak
pertama awalnya mencoba normal berakhir sesar karena terbelit tali pusat, yang
kedua langsung meminta sesar.
Saya waktu itu berfikir, wong dokternya saja optimis masak
saya menyerah. Lagi waktu Fatih, bukaan 4 saya tidak merasakan kontraksi sama
sekali. Rasanya air ketuban pecah malah plong.
Singkat cerita, Kamis pagi, sekitar pukul 03.00 WIB saya
merasakan perut terasa kencang. Saya tidur dengan membolak-balikkan badan ke kanan
dan kiri. Pukul 04.00 WIB selesai adzan subuh, dalam perjalanan ke kamar mandi,
saya merasakan ada cairan keluar. Benar, ternyata itu flek. Akhirnya saya
segera membangunkan ayah untuk persiapan ke rumah sakit.
Sampai di rumah sakit, setelah diperiksa, ternyata masih
bukaan 1. Saya diberi pilihan, mau langsung mondok atau kembli lagi siang atau
sore hari saat kontraksi semakin sering. Saya dan Ayah putuskan untuk langsung
mondok, karena pertimbangan daripada diributin Fatih.
Yang paling menyebalkan begitu diputuskan mondok adalah
langsung diinfus. Hadeh, padahal saya kan paling takut sama jarum suntik. Saya
mencoba menawar, entar aja agak siangan, sayangnya prosedur rumah sakit seperti
itu.
Proses mencari vena saya buat diinfus tidak mudah. Vena saya
halus dan kecil, goyang sedikit pecah. Benar, saya goyang karena tegang, pecah
deh. Perawat sampai geregetan, terpaksa mencari lagi di sebelah kanan.
Penyiksaan tak berakhir sampai di situ, saya masih harus disuntik untuk diambil
darah dan memuluskan jalan lahir. Belum lagi ada pemeriksaan pembukaan beberapa
kali.
Pukul 07.30 WIB akhirnya dokter datang untuk memeriksa keadaan
saya. Saat itu saya baru saja memakan roti, karena belum sarapan sama sekali.
Dokter kemudian meminta saya untuk puasa saja, untuk berjaga-jaga kalau nanti
terpaksa sesar. Saat itu sudah bukaan 4 dan rasa mulesnya sudah luar biasa,
deuh kok beda sih ma pengalaman melahirkan Fatih yang tidak terasa sama sekali.
Dokter sudah menawarkan untuk disesar langsung atau masih
kuat diobservasi selama 4-5 jam. Sebelumnya bidan sudah bertanya, perkiraan
berat badan bayi berapa dan tinggi saya berapa. Mendengar berat badan bayi 3,5
dan tinggi saya cuma 148, sepertinya mereka geleng-geleng kepala.
Kepastian normal memang masih harus diobservasi, detak
jantung bayi terus dipantau, termasuk kondisi saya yang sudah setengah teriak
menahan mules. Saya sudah mencoba mengatur nafas, tapi praktek tak semudah
teori, rasanya tetap harus berteriak menahan mules.
15 menit setelah kunjungan dokter, saya benar-benar sudah
tak tahan. Ayah sudah saya remet-remet untuk menyalurkan rasa mules. Akhirnya
saya mengikuti tawaran dokter.
“Gimana ya Yah, sesar sekarang apa nunggu 4-5 jam lagi?”
tanya saya sambil menahan mules.
“Terserah Mama, yang merasakan kan Mama. Sesar sekarang juga
gak papa. Ayah percaya Mama.” Jawab Ayah menguatkan sambil memegang tangan dan
mencium kening saya.
Akhirnya saya masuk ruang operasi pukul 08.00 WIB sambil
setengah teriak dan mengatur nafas. Begitu diberi bius lokal, saya sudah lemas,
habis tenaga saya untuk menahan mules, apalagi dengan sarapan hanya sepotong
roti.
Saya tertidur di ruang operasi, bangun-bangun, dokter tengah
menjahit perut saya. Asisten dokter menyampaikan ucapan selamat kalau bayi
sudah lahir dengan selamat, dengan berat 3,4 kg dan sehat wal afiat.
Usai tubuh saya dibersihkan, saya dibawa ke ruangan bersalin
VIP. Saat itu kamar rumah sakit penuh, adanya kelas 3 dan sisa ruang bersalin
VIP. Untuk sementara saya ditempatkan di ruang bersalin VIP sambil menunggu
kamar VIP kosong.
Saya memang harus memilih kamar dengan pasien 1 kamar 1
orang, pertama untuk kenyamanan, kedua karena saya memilih rawat gabung dengan
konsekuensi semua diurus oleh keluarga sendiri. Kapan-kapan saya akan cerita
tentang rawat gabung.
Keesokan paginya dokter visit ke kamar saya. Saya kemudian
bertanya apakah keputusan saya untuk sesar saat itu tepat atau peluang normal
sebenarnya masih tinggi. Jawaban dokter, saat itu masih ada peluang normal,
namun bila operasi dilakukan siang hari, kesulitan lebih besar. Ternyata dokter
anastesi siang hari praktek di RSU dan kalau siang hari ditakutkan detak
jantung bayi sudah tidak bagus. Selain itu ternyata air ketuban sudah keruh.
Penyebabnya mungkin bayi distress.
Di lubuk hati terdalam saya merasa menyesal, tidak bisa
memperjuangkan persalinan normal hingga akhir. Tapi saya bersyukur juga, karena
kalau saya keukeuh, kasihan Fattah, air ketubannya malah sudah keruh, terpaksa
dia diberi antibiotik selama 2 hari.
Saya salut dengan ibu-ibu yang berhasil dan sanggup
menjalani persalinan normal, meski kadar kesakitan dan mules saat kontraksi
tiap orang berbeda.
Apa saya akan mencoba lagi untuk persalinan normal di
kemudian hari? Sampai saat ini, saya putuskan cukup dua anak saja. Sakit pasca
sesar untuk kedua kalinya luar biasa, bagaimana kalau ketiga kalinya. Tak ingin
saya bayangkan.
“Sakit pasca sesar kedua lebih sakit kan Bu?. Cukup dua saja
ya bu. Istri saya saja dua kali sesar, saya ga ingin nambah lagi. Kasihan”
pesan dokter SPOG saya.
Tuh, saya didukung ma dokternya kan? Sepertinya dia enggan
berurusan dengan saya lagi. Tiap konsultasi, nanya dan ngeyelnya banyak, pas
persalinan hobinya teriak-teriak hihihi.
Royyan Al Fattah