(taman vertikal yang diidamkan)
Seminggu yang lalu, saya sedang jengkel. Pasalnya, rumah
yang tengah dibangun, sudah sebulan lebih, mandeg, seminggu terakhir malah
tanpa alasan yang jelas. Sebelumnya saya sudah mencoba berkomunikasi, alasan
yang dikemukakan masih masuk akal, hujan yang mengguyur Kudus cukup deras,
bahkan membuat sebagian wilayah terendam banjir.
Acara banjir sudah lewat, saya mencoba menanyakan kembali
kapan akan dilanjutkan. Jawabannya “secepatnya,
begitu cuaca mendukung”. Memang sih, hujan kadang-kadang masih turun. Setelah
beberapa hari Kudus cerah, saya tanyakan lagi, tidak ada jawaban. Sms tidak
dibalas, HP dihubungi pun jawabannya dialihkan.
Akhirnya saya ‘mangkel’. Suami pun meminta bantuan keluarga
untuk menanyakan kepada mandornya, kebetulan mandornya masih keluarga suami.
Setelah di desak oleh kakak ipar, terkorek juga keterangan dari mandor. Rupanya
uang yang kami setorkan sudah habis, dia juga menghadapi kendala belum
menemukan material bagian atap rumah kami.
Weleh, lah kok gak ngomong terus terang. Padahal, saya sudah
menanyakan berulang kali mengenai ketersediaan uang. Soal kendala atap rumah
kan bisa dibicarakan. Mungkin karena masih ada hubungan saudara, jadi ada rasa
sungkan untuk berterus terang.
Ini, yang paling bikin saya illfill. Kenapa gak asertif aja
sih?. Asertif adalah kemampuan mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan
keinginan kepada orang lain tanpa merasa cemas atau sungkan. Teknik untuk
menyampaikan tentu saja dengan menjaga dan mempertimbangkan baik dan buruknya sikap
dan perilaku yang akan ditampilkan.
Jadi gak setiap kita menyampaikan sesuatu itu dikatakan
asertif, kalau menyampaikannya dengan tujuan untuk menjatuhkan atau dengan cara
agresif tentu tidak bisa dikatakan asertif.
Saya sih, tidak bertujuan menceritakan keburukan seseorang,
hanya ingin mengambil hikmah dari kejadian itu. Coba seandainya, mandor yang
membangun rumah berterus terang, masalah lebih mudah diselesaikan, saya pun
tidak akan mengembangkan praduga buruk.
Memang saya tipe orang yang tidak suka berbelit-belit, lebih
suka praktis dan langsung ke sasaran. Contohnya nih, jaman muda dulu, dua atau
tiga tahun yang lalu *yang ini jelas mendiskon tahun* beberapa kali ada cowok
yang memberikan sinyal mendekati. Saya paling males nih, kalau acara mendekati
berjalan sangat panjang dan lama, kayak iklan produk makanan anak-anak.
Apa yang saya lakukan? Saya mencoba proaktif dengan
menanyakan kepada cowok-cowok itu *biar kesannya banyak yang mendekati* apa
yang tengah terjadi.
Ada yang menjawab, biar waktu yang menjawabnya, masih butuh
proses untuk ke sana. Ya elah, lama amat sih.
Ada juga yang meminta waktu untuk mengutarakan isi hatinya
pada saat yang sudah dianggap tepat. Malah ada yang nembak lewat telepon, saya
bilang kalau mau jawabannya ketemu langsung saja. Pas ketemu, yaelah, saya juga
yang memulai percakapan untuk membahas perasaan dia.
Kesannya malah saya yang ngotot ya?. Ya itu tadi, saya
pengen segala sesuatunya lebih jelas dan gamblang. Saya gak pengen mereka-reka
perasaan mereka, supaya tau saya bagaimana harus mengambil sikap.
Tapi beneran lho, gak asertif itu rugi. Nyatanya ada juga
cowok yang mendekati dengan jalan ‘melipir’, gak saya tangkap maksudnya.
Setelah saya mau nikah sama suami, baru terungkap kalau dia naksir sebenarnya
naksir saya sejak lama. Katanya saya, gak mudeng-mudeng. Oalah, dia yang ga
asertif atau saya yang tulalit ya..hahaha…
hai mak Rizka, assalaamu'alaikum, salam kenal ya ^^
BalasHapusiya mak, sama kaya saya..saya juga gregetan dgn orang yg ga to the point, byk basa-basi menyampaikan maksud malah bikin gemes..