Seorang sahabat, pernah menyeletuk, kurang lebihnya seperti
ini, “bukan Rizka namanya kalau kisah cintanya biasa”
Kisah cinta saya dan Ayahnya Fatih memang terbilang tidak biasa,
setidaknya dulu kami menjalin hubungan dengan sembunyi. Awalnya sembunyi dari
semua orang, termasuk dari keluarga, tapi Ayah kan ngapelnya ke rumah, jadi ya
akhirnya ketauan juga hihihi.
Kenapa sih cinta kami tak biasa? Saat perkenalan pertama
kami, saya sudah bekerja ditempat Ayah kuliah. Jadi kala itu status saya
bekerja dan Ayah masih mahasiswa. Kami dipertemukan karena terlibat dalam
kegiatan bersama. Dulu aja, Ayah memanggil saya dengan embel-embel ‘ibu’ dan
saya hanya memanggil dia dengan namanya.
Sebenarnya usia kami tak terpaut jauh, cuma 2 tahun. Kami
juga ternyata satu sekolah di SMA, Ayah teman seangkatan adik saya. Hanya saja,
baik saya dan adik tidak mengenalnya ketika SMA.
Masalah usia, bagi saya tidak prinsip, kalau cuma beda 2 tahun
wajar sajalah. Lagi wajah saya tergolong imut, jadi tidak ada yang menyangka
kalau saya lebih tua dari ayah hehehe. Posisi saya yang dipanggil ibu itulah
yang membuat saya terpaksa menyembunyikan perasaan dan hubungan kami.
Saat dulu perasaan kami berdua terungkap, saya bilang sama
Ayah, kalau hubungan ini sulit diteruskan. Seharusnya saya bertindak sebagai
senior, membimbing dia, kok malah menjalin cinta. Saya merasa malu dengan
rekan-rekan dan mahasiswa , teman-teman. Kalau menurut Ayah, apanya yang salah,
saya single, ayah juga single, siapa yang melarang.
Tapi yang namanya cinta, meski saya bilang cukup di sini,
nyatanya kami masih berkirim kabar, bertemu diam-diam hingga akhirnya
memutuskan mencoba, namun saya meminta agar hubungan kami cukup untuk berdua,
bukan konsumsi publik.
Hubungan diam-diam kami, cukup mendebarkan. Kami mencari
tempat yang kira-kira jarang dikunjungi oleh teman-teman kami, bukan di kuburan
lho. Apa kami tak pernah ketahuan? Tentu pernah, beberapa kali. Awal hubungan,
Ayah menemani saya mencari kos untuk saya tinggali selama kuliah S2, dan saat
ayah menemani membeli laptop, eng ing eng, rekan seunit saya rupanya memergoki
kami. Spontan saya langsung menjauh dari ayah, dan mendekati adik dan adik ipar
yang ikut menemani juga. Tapi apa daya, teman saya sudah melihat saya beberapa
saat yang lalu tanpa saya ketahui, untung dia bersedia tutup mulut.
Saya juga pernah bertemu dengan temannya Ayah dimana kami
satu kegiatan. Tentunya dia heran, melihat kami hanya berdua, dimana
teman-teman yang lain tanyanya. Saat itu saya berusaha berkelit, mengatakan
kalau yang lain tidak bisa, entah seperti apa muka kami berdua.
Status dia yang masih mahasiswa tentunya membuat kedua orang
tua saya ketar ketir, wajarlah, setiap orang tua mengharapkan anak perempuan
mendapatkan pasangan yang sudah siap menghidupi keluarga. Beberapa kali orang
tua saya menanyakan, status hubungan kami. Saya sekedar mengakui berteman. Kami
belum siap dan tengah mempersiapkan hubungan dengan serius.
Lantas apa yang membuat saya yakin dan mau menerima Ayah? Karena
yang mau sama saya cuma Ayah hihihi..gak ding. Saya kagum dengan perjuangan
Ayah, dia nyambi bekerja untuk membiayai kuliahnya. Selain itu, dia masih bisa
membagi waktu dengan ikut UKM jurnalistik dan menjadi Pimred di majalah kampus.
Saat tengah mengerjakan skripsi, saya mendorong Ayah untuk
yakin mengikuti seleksi wartawan di sebuah surat kabar lokal. Akhirnya saya
merasa kami punya posisi tawar untuk meneruskan hubungan kami lebih serius dan
mampu menjawab kekhawatiran orang tua.
Hingga suatu waktu di perjalanan 2 tahun hubungan kami, Ayah berujar mau bertemu dan meminta ijin Papa
untuk berhubungan serius dengan saya. Wah, pantas Ayah ngapel pakai kemeja,
rupanya pengen ngobrol serius ma camer hihihi.
Usai acara pertemuan keluarga, barulah saya berani
mengabarkan hubungan kami kepada dua rekan terdekat saya. Saya berpikir, sudah
saatnya dan hubungan kami juga sudah terendus oleh media *berasa artis.
Tujuan saya berbagi kisah cinta, untuk menyampaikan bahwa
meski cinta ajaib dan seringkali irrasional,
tapi kita tak perlu takut menghadapi dan mewujudkannya. Bagi saya, pendamping
hidup bukanlah yang sempurna, namun mampu melengkapi kehidupan kita. Saya tidak
menghiraukan perbedaan usia dan status sosial, namun lebih kepada kesamaan visi
dan pandangan hidup.
Saya jadi teringat dengan almarhum teman kerja. Dia pasti tertawa
puas di sana, karena ‘kutukan’nya terlaksana.
Dia pernah bilang “kalau dosen cowok dapat mahasiswi sudah biasa, yang luar
biasa kalau dosen cewek dapat mahasiwa, ayo buat hal yang luar biasa Riz”. Saya
sudah ampun-ampun dengan kutukannya, tapi apa daya, panah cupid eh takdir ALLAH
menyandingkan kami, yang penting happy
ending.