Usia saya ketika bertemu dengan ayah, sudah cukup matang sekitar 27 tahun dan akhirnya kami menikah saat usia saya 29 tahun. Sebelum bertemu dengan ayah, saya sempat ‘dekat’ dengan beberapa pria. Bahkan saat sudah terungkap perasaan kami berdua, saya masih sempat ditraktir oleh teman pria saya. Tanggapan ayah saat itu, boleh katanya. Tapi ya cuma boleh sekali itu, setelah itu dia pasti akan uring-uringan kalau saya dekat dengan teman-teman pria hehehe.
Selama masa pencarian, saya belum merasakan adanya kecocokan dengan pria-pria tersebut. Apakah mereka kurang ideal atau saya yang mencari pria yang sempurna? Rata-rata dari mereka sudah bekerja dan kemungkinan memang berniat menjalin hubungan yang serius. Kok kemungkinan? Ya, karena ada juga yang tidak langsung berterus terang dengan keseriusan mereka. Misalnya nih, ada temannya yang malah bertanya tentang perasaan dan keseriusan saya dengan teman prianya. Lah kok ga bertanya langsung?. Alasannya, dia ingin membantu temannya, tapi dia menjamin kalau temannya memang menyukai dan berniat serius dengan saya.
Ada lagi yang menyatakan perasaannya di depan teman saya atau kalau gak memakai pengandaian. Misalnya kalau saya di suruh memilih temanmu atau kamu, saya pilih kamu saja. Lah?? Maksude piye?
Bagi pria semacam itu, saya tidak menganggap serius, kan memang sikap mereka terlihat belum serius.
Eits, tapi ada juga yang setelah pertemuan pertama berniat serius dengan masa perkenalan 3 bulan yang kemudian dilanjut dengan keputusan menikah atau tidak. Pria yang satu ini, dari segi bibit, bebet dan bobotnya cukup bagus. Menurut teman saya, mendekati sempurna lah. Berdasarkan informasi dari teman kuliah yang kebetulan pernah menjadi adik kelasnya di SMA, ia berasal dari keluarga yang terpandang dan paling kaya di daerahnya..wow. Saat itui, dia sudah bekerja di sebuah perusahaan, meski masih staf biasa dan memiliki sampingan berwiraswasta. Yang bikin wow lagi, menurut informasi teman, dia adalah mantan ketua OSIS yang cukup popular dan sarat dengan prestasi. Piala dan piagam berjejer di rumah.
Bak ketiban durian runtuh donk. Saya kebetulan suka durian, tapi kalau ketiban kan rasanya sakit kena durinya. Akhirnya saya malah ketakutan sendiri. Iya, dia begitu wow, sedang saya profil yang biasa-biasa saja. Pertemuan pertama dan kedua, dia banyak berbicara tentang dirinya dan pengetahuan psikologi yang merupakan bidang saya. Batin saya, ini orang terlalu wow, saya merasa tidak punya nilai apa-apa.
Sholat istikharah yang dijalani tidak menghasilkan apapun. Saya tidak bermimpi apa-apa, tidak ada kemantapan hati hingga membuat saya merasa ketakutan sendiri. Untunglah, si pria memutuskan untuk tidak melanjutkan, saya lupa alasannya apa. Mungkin dia menemukan ketidakcocokan atau melihat muka saya yang cemas ketika bertemu dengannya..hehehe..
Setelah peristiwa itu, doa saya untuk masalah jodoh berubah redaksinya menjadi “Ya ALLAH, segerakan, mudahkan dan dekatkanlah aku dan jodohku. Getarkanlah hatiku bila ia memang jodohku”.
Ya, saya meminta agar hati bergetar saat menemukan jodoh yang dimaksud. Saya tidak memberikan kriteria apapun, karena kesempurnaan itu relatif.
Sampai saya bertemu dengan ayah, dan seperti doa saya, bergetarlah hati saya setiap bertemu atau mengingatnya. Saat bertemu, dia masih berstatus mahasiswa dan dari keluarga yang biasa, tidak sekaya keluarga pria yang saya ceritakan di atas. Pembicaraan kami di awal pun santai, mengalir dan bukan hal yang berat.
Entah mengapa saya merasa cocok, padahal usianya lebih muda dari saya. Menurut saya, ayah pria yang sempurna. Segi fisik, sempurna lah untuk memperbaiki keturunan, kan ayah orangnya tinggi besar..hihihi. Passionnya pun jelas di bidang jurnalistik, bisa melengkapi wawasan saya yang kurang. Lumayan, saya ga perlu baca koran atau nonton berita dengan intensif hahaha.
Apakah ayah tidak memiliki kekurangan? Ada donk, setidaknya saya memiliki pengetahuan di bidang psikologi lebih dari ayah. Jadi saya merasa memiliki nilai yang berbeda darinya.
Satu peristiwa penting melengkapi kesempurnaan itu. Usai membaca salah satu koleksi buku saya yang bercerita tentang pengalaman penderita schizophrenia dari luar negeri, ayah berujar “Eh Mah, ternyata penderita schizophrenia di luar negeri mengalami delusi dan halusinasi ya?”
Mendengar ucapannya saya bengong “Maksudnya?”.
“Iya, kalau yang di Indonesia kan ga mengalami delusi dan halusinasi kan?” jelas ayah lagi.
“Hahaha” tawa saya sambil membatin sungguh pria yang sempurna bisa membuat saya tertawa.
Selamat Milad Ayah...