Alhamdulillah, 6 November 2014 lalu, saya baru saja melahirkan bayi laki-laki dengan berat 3,4 kg dan panjang 47 cm. Proses kelahirannya dengan sesar lagi, seperti yang pernah saya ceritakan di sini. IMD yang saya harapkan pun gagal lagi, lah pas operasi berlangsung saya tertidur karena kelelahan menahan kontraksi.
Meski persalinan normal gagal dan IMD pun gagal, saya tetap
harus move on. Ya, masih ada lagi
yang saya dapat usahakan, yaitu rawat gabung demi tercapainya ASI Ekslusif.
Mungkin kalau di kota-kota besar atau di rumah sakit lain,
masalah rawat gabung sudah diterapkan. Bahkan saya dengar ada rumah sakit yang
sudah menerapkan pro ASI, dimana kalau si ibu atau keluarga tidak mau
mengusahakan ASI, ada lembar pernyataan yang harus ditandatangani.
Berbeda dengan rumah sakit tempat saya melahirkan. Justru
ketika saya ingin rawat gabung, suami atau keluarga harus menandatangani lembar
persetujuan menanggung segala resikonya yang artinya kebutuhan bayi akan diurus
sendiri oleh keluarga.
Rumah sakit tempat saya melahirkan tidaklah besar, dulunya
rumah sakit bersalin yang kemudian memperluas layanan menjadi rumah sakit umum,
artinya melayani segala jenis keluhan penyakit. Kamar untuk ibu melahirkan
tidak terpisah dengan kamar untuk pasien dengan kasus lain. Biasanya kalau di
rumah sakit besar, kamar untuk ibu melahirkan ditempatkan jadi satu ruangan di
mana ruang perawatan bayi juga berada di ruangan tersebut. Itulah yang menjadi alasan
rumah sakit tersebut belum menawarkan rawat gabung, meski bukan berarti tidak
boleh sih.
Beberapa jam setelah saya melahirkan, perawat datang ke
kamar saya.
“Ibu, benar ibu ingin rawat gabung?” tanya perawat.
“Iya mbak. Tidak dilarang kan? Kondisi bayi juga
memungkinkan?” jawab saya sambil menegaskan, kalau dilarang ya saya akan
mengamuk. Lah dokternya kemarin bilang rumah sakit sudah pro asi, meski setelah
saya kejar dia meralat setengah pro ASI. Mo saya kejar lagi, biar dia keluarin
statemen belum pro ASI kok kasihan ya..hihihi..
Betul kok, menurut saya rumah sakit ini belum pro ASI,
paling seperempat pro ASI. Seperti yang pernah saya ceritakan tentang rumah
sakit pro ASI di sini.
“Dokter anak tanya Bu, apa kondisi ibu memungkinkan untuk
menyusui, apa asinya sudah keluar, apa keluarga siap untuk mengurus dan bayi
juga kan masih diberi antibiotik “ balas perawat lagi.
Betul kan, dukungan pro ASI nakesnya belum maksimal. Saya
hanya merasa didukung oleh dokter kandungan aja. Sayangnya dokter kandungan
saya lupa, kalau kami kemarin kan sudah janjian untuk pilih dokter anak yang
satu lagi, bukan yang sekarang menangani bayi saya.
Saya tidak ingin terlihat sok, jadi saya sampaikan saya
ingin mencoba sekalian merangsang agar asi saya cepat keluar dengan hisapan
bayi.
Alhamdulillah, untuk anak kedua ini, saya didukung oleh Ayah
untuk rawat gabung. Ternyata Ayah merasa terpacu dengan temannya yang sudah
mampu memandikan bayinya, padahal baru anak pertama. Kata Ayah, “Masak ganti
popok untuk anak kedua ga bisa”.
Kesuksesan menyusui itu memang dipengaruhi juga oleh
dukungan keluarga lho. Makanya ibu-ibu, mari kita edukasi suami dan keluarga
agar memberi dukungan pemberian ASI.
Kembali ke rawat gabung, saya percaya diri saja meski
payudara saya kecil dan saat pertama dipencet belum keluar ASInya. Saya tetap
mengusahakan bayi tidak kenal sufor dan dot. Hisapan bayi merangsang keluarnya
ASI. Fiola, benar dugaan saya, setelah dihisap bayi, saya mencoba memencet
payudara keluar setetes kolustrum dari payudara. Ayah bertambah yakin untuk
terus melanjutkan rawat gabung.
Satu hal lagi, ketika pertama kali menyusui memang agak
susah, saya baru bisa miring kanan dan kiri dengan menahan sakit di perut. Bayi
juga masih belajar menghisap putting dan aerola/bagian hitam disekeliling putting.
Hal yang perlu dilakukan tetap keras kepala untuk sama-sama belajar dengan
bayi. Satu dua hari memang agak kesulitan, hari ketiga sudah cukup lancar,
bahkan payudara saya terasa penuh kalau tidak disusui 1-2 jam.
“Ibu tidak capek bu menyusui dengan posisi miring terus?”
tanya perawat melihat saya beberapa kali menyusui.
“Lah, anaknya pengen mimik kok mbak. Ya saya mimiki” jelas
saya.
“Maksud saya, kalau capek dan masih sakit mending dibawa
keruangan bayi saja. Biar ibu bisa istirahat” tawar perawat.
“ Ga usah mbak, saya masih sanggup kok. Lagi ga menyusui
juga perut saya ya sakit” jawab saya dengan senyum manis namun menyeringai
dalam hati. Saya mah lebih sakit kalau anak saya ga mau menyusui langsung dan
memilih dot akibat bingung putting. Masak mau mengulang cerita bingung
putingnya Fatih.
Sudah tugas dan kewajiban saya sebagai ibu pasca melahirkan
ya menyusui. Resiko sakit itu ada, dan saya ambil resiko itu demi surga-NYA
ALLAH kelak. Aamiiin.
Sebelumnya, baarokallohu ya mbak, semoga dedeknya jd anak yg sholeh, aamiin....,
BalasHapusMemang, sangat sulit menemukan RS yang benar2 pro IMD, pro ASI, apalagi kalau bukan di kota besar. Jadi butuh kegigihan kita sbg ibu untuk memperjuangkannya ya. Saya juga dulu kekeuh minta bayi dirawat gabung supaya bs full ASI walau aturan di RS tdk seperti itu. Salut mbak, tetap memperjuangkan ASI disaat kondisi masih capek pasca operasi ^^
Salam kenal ya,
Salam kenal juga Mbak. Iya, demi bisa memberikan ASI, sakit pun bukan penghalang. Makasih kunjungan dan doanya.
BalasHapusselamat rizka... emang jd ibu ya harus banyak berkorban hehe.. salut buat ibu2 yg berusaha yang terbaik buat buah hati nya.. chayoo bunda...
BalasHapus