pasang cincin
“Dari terminal lurus terus sampai ketemu Matahari Mall belok
kiri. Nanti melewati kuburan, masih terus sampai notok baru belok kanan. Ketemu
perempatan besar, lurus terus kira0kira 300 m sebelah kanan di situ gedungnya”
jelas saya.
“Oh, oke-oke. By the way, dirimu wes ijab kan?”tanya teman
saya lagi
“Iyo uwis, baru aja acara selesai jam 11an tadi pagi. Emang
kenapa?” tanya saya balik
“Kok ga ada bedanya. Suaramu ajeg, ga kayak wong wes nikah..hahaha”
jelas teman saya disambung derai tawa.
Welah, emang suara orang yang sudah nikah itu seperti apa?
Ya, 4 tahun yang lalu tepatnya di hari Sabtu, 4 Desember
2014 sekitar pukul 09.00 WIB *kalau tidak salah ingat jamnya * adalah ijab kabul
kami. Besok minggunya tanggal 5 Desember 2014 pukul 10-12.00 dilanjut acara
resepsi.
Sama seperti acara ijab kabul yang lain, cincin merupakan
barang yang selalu ada. Cincin yang dipasangkan Ayah merupakan mahar pernikahan.
Papa saya tidak mau kalau mahar pernikahan seperangkat alat sholat. Mahar ya
barang berharga, eits bukan berarti alat sholat tidak berharga, hanya saja kok jadi semacam
tren.
Saya sendiri mendapatkan dua cincin dari Ayah. Cincin
pertama berwarna putih, diserahkan bulan Juli 2010 di acara perkenalan keluarga.
Acara tersebut menanyakan apakah saya memang masih sendiri dan meminta kesediaan
orang tua saya untuk menyerahkan anak gadisnya. Penutupnya pemberian cincin
putih sebagai pengikat.
“Kalau nanti, adik ketemu orang yang lebih baik ya ga papa
kalau mau sama dia. Tapi cincinnya harus dipakai, wong sudah dikasih” ujar si
Ayah setelah acara keluarga.
Hm, kalimat yang sangat kontradiktif, maksudnya apa?Tapi
akhirnya ya saya pakai si cincin putih. Cerita selanjutnya bisa ditebak setelah
saya memakai cincin.
“Eh, mbak Rizka sudah lamaran ya?” tanya teman A kepada teman
dekat saya.
“Ga tau ya Mbak. Kok mbak bisa bilang gitu?” tanya teman
saya menutup-nutupi.
“Soalnya Mbak Rizka pakai cincin” jelas teman A.
“O, saya juga pakai cincin Mbak” jelas teman saya lagi.
“O, beda. Mbak Rizka itu ga pernah pakai perhiasan. Kalau
pakai pondoasti ada apa-apanya” kesimpulan teman A dengan tepat.
Ya, saya memang bukan penyuka perhiasan, paling perhiasan
yang dipakai jam tangan. Jujur, yang saya suka seperangkat kunci. Kunci rumah,
kunci mobil dan kunci brankas tempat menyimpan barang berharga hihihi.
Cerita hampir serupa juga terjadi saat acara buka puasa
bersama teman SMA. Sebelumnya beberapa orang teman ada yang bertanya, apakah
saya sudah memiliki calon suami. Berhubung calon suami saya satu almamater
jaman SMA dan adik kelas, saya masih menutup-nutupi. Entahlah dulu saya malu
kalau ketahuan sama adik kelas.
Usai acara buka puasa bersama, seorang teman, saya dengar
menyeletuk, “terjawab sudah, tanyamu dengan cincin dijarinya” ujarnya kepada
seorang teman saya. Sepertinya sih, ada seorang teman yang jomblo mau mendekati
saya. Sepertinya lho, soalnya teman saya itu ga ngomong terus terang sih.
Ke-GR-an saya saja yang menyimpulkan hihihi.
Cincin putih itu menceritakan dan menjawab semua dalam diam.
Lantas kemana si cincin putih? Ya, dia juga menjawab kebutuhan saya. Kebutuhan
saya di saat ini adalah menyelesaikan pembangunan rumah tinggal. Dengan sangat
terpaksa bersama rekan-rekan perhiasan lain, cincin putih ikut saya jual
hihihi.
Barokallah, selamat merayakan pernikahan. Semoga sakinah, mawaddah, warrahmah ya mbak. Gak ketauan lagi dong klo uda merid? Cincinnya udah gak ada :D Insya Allah nanti beli lagi Mbak.
BalasHapusSekarang ketauan dari buntutnya yang udah 2 Mak hihihi..Aaamiin. Semoga ada gantinya Mak
Hapussemoga besok si cicin putiih tergantikan dengan yang lebih baik,btw penyuka merah ya mak...hihi, maaf oot.
BalasHapusAaamiin. Iya Mak, merah lebih berani, biar berani nulis..hihihi..
HapusLho akhirnya cincin putih menjadi korban jg ya? :D
BalasHapusIyo Dhin. Mesti iki Dhini to :D
HapusGapapa,bntar lagi ga cm cincin putih,Ada yg emas jg hehehe
BalasHapus