Jaman kuliah, usai outbound |
“Maksud dokter saya psikosomatis?” tanya saya setengah
menahan keinginan teriak.
“Iya, kalau dicek secara jasmani, tidak ditemukan penyakit
apapun, kemungkinan besar mentalnya yang sedang sakit. Mungkin karena banyak
pikiran, stress dan badannya jadi sakit”, jelas dokter umum yang masih cukup
muda itu.
“Iya, saya paham maksud dokter. Tapi saya tidak sedang
stress Dok. Iya kalau pernah punya masalah pun ya masalah biasa, tidak terlalu
saya pikirkan” elak saya lagi.
“Coba mbak ingat-ingat. Pernah mimpi tentang aktifitas
sehari-hari gak? Merasa dikejar waktu, selalu memikirkan hari esok, apa ya yang
ingin besok saya lakukan. Akhirnya tidak bisa menikmati hidup. Hidup itu jangan
terlalu berlebihan mengejar yang esok. Nikmati dan jalani saja yang ada hari
ini” nasihat dokter sambil melihat muka saya yang tidak percaya.
Kira-kira seperti itulah sepenggal dialog saya dan dokter
muda tempat biasa saya berobat bila tubuh dirasa tidak nyaman.
Saat itu saya benar-benar menolak diagnosa dokter. Bagaimana
mungkin, saya seorang mahasiswa psikologi calon sarjana psikologi didiagnosa
PSIKOSOMATIS.
Saya berkonsultasi ke dokter, karena tubuh sering lemas
tanpa mengenal tempat dan waktu. Saat berada di kampus, saya tiba-tiba lemas
dan pingsan. Saat di jalan, saya merasa oksigen mendadak hilang dan nafas
menjadi pendek. Bahkan saya nyaris pingsan usai nobar dengan teman dan kakak
senior.
Meski saya menolak dengan keras diagnose tersebut, malamnya
saya mimpi tentang kejadian sehari-hari. Bangun tidur, badan tidak segar justru
merasa sangat lelah. Saya kemudian merenung dan berpikir lebih jauh ke dalam,”ucapan
dokter mungkin ada benarnya”.
Semasa kuliah S1, kegiatan saya memang banyak, mulai dari
kuliah, organisasi kampus, asisten pratikum, pelatihan dan ada beberapa
kegiatan lain yang saya minati terpaksa dilepas karena tak cukup waktu. Jadwal
acara saya padat, bahkan liburan pun saya tak bisa pulang. Saya seperti merasa
kelaparan, banyak hal yang ingin dicicipi.
Sayangnya saya tak menyadari bahwa kegiatan itu menekan saya
cukup dalam. Jika kegiatan tak berjalan lancar, saya menjadi kecewa. Kekecewaan
bertambah dalam kalau penampilan saya kurang maksimal atau gagal, rasanya ingin
tenggelam ke dasar laut. Badan pun terzalimi. Meski lelah, saya tetap
memaksakan mengikuti kegiatan. Makan pun kadang terlewat, entah karena kurang
nafsu, ada kegiatan atau tertidur karena kelelahan.
Jika kekecewaan menghampiri, saya merasa menjadi orang yang
serba kurang. Mulai kurang pandai, kurang berbakat, kurang berusaha, kurang
cermat dan kurang beruntung sehingga hasil mengecewakan. Rasa kurang inilah
yang sering membuat saya membenci diri diri sendiri bahkan menyalahkan Tuhan
karena memberikan dan membiarkan kekurangan saya.
Ucapan dokter muda tersebut, menampar sekaligus menyadarkan
saya. Ternyata selama ini saya kurang mencintai diri sendiri. Saya kemudian
merenung lebih dalam dan melakukan self healing.
Ada beberapa hal/cara yang saya dapatkan :
- Tidak ada yang instan, semua butuh proses. Ya, saya sering baru melakukan 1 atau 2 pekerjaan maunya langsung sukses. Misal baru sekali jadi moderator maunya langsung lancar berbicara di hadapan peserta. Sekarang aja, baru beberapa kali mengirimkan tulisan ke media, ingin langsung dimuat hahaha.
- Tidak perlu menyalahkan siapa pun bila hasil mengecewakan. Saya sering nih, menyalahkan diri sendiri bahkan kadang orang lain terseret juga, hadeuh. Penting dilakukan adalah tidak berhenti belajar dari pengalaman.
- Tak lupa bersyukur. Seringnya kekecewaan datang karena selalu melihat ke atas. Sesekali perlu juga melihat ke bawah untuk mengetahui bahwa kita masih lebih beruntung. Bentuk syukur lainnya adalah dengan mendekatkan diri kepada TUHAN dan selalu berbagi kepada sesama di saat memperoleh kenikmatan.
Nyimak..sapat istilah baru psikosomatis:)
BalasHapusSilahkan Mak :)
Hapuskadang kalo kelamaan ndangak,jadi malu sendiri,artinya saya kurang bersyukur..makasih mbak sharingnya^^
BalasHapusKalau kelamaan dangak, ntar kesandung Mbak..hihihi..
HapusAku kok kesindir juga sm omongan dkter muda itu, aku gt soale srg mimpi kjadian sehari2, bgn tdr lgsg mikir hrs ini hrs itu ky dikejar2
BalasHapusKatanya tidur berkualitas itu justru yang tanpa mimpi. Biasanya bisa tanpa mimpi kalau pas tidur, sudah bebersih pikiran dulu.
HapusNikmati dan jalani yang ada hari ini, sambil mempersiapkan diri untuk hari esok dengan sewajarnya..
BalasHapusTerima kasih sharingnya mak
Salam Kenal^^
Betul Mak. Salam kenal balik :)
Hapuspsikosomatis jangan2 aku termasuk kategori ini ?btw makasih ilmu barunya
BalasHapusTiap orang bisa mengalaminya Mbak :)
HapusmasyaAllah imut-imutnya diphoto ituh hehehe..*salah fokus
BalasHapusSiapa? Pak Aji ya?hahaha..
HapusOmongan dokternya nggampar banget ya mak. heheehehe merasa dikejar waktu, selalu mikirin besok. Aku banget :|
BalasHapusAsik. Ono koncone :D *eh
HapusKalo saya psikosomatis plus agoraphobia.
BalasHapusSejauh mana agoraphobianya Mak?
HapusBaca postingan ini berasa ngaca :D
BalasHapusLangsung googling cari tau tentang psikosomatis.
Memang banyak temannya Mas :)
HapusDapet istilah baru nih... Kayaknya aku juga tergolong psikosomatus???
BalasHapusGa mesti muncul Mak. Biasanya muncul kalau banyak pikiran :)
Hapuswah gitu ya...
BalasHapusaku juga sering nih lebih pusing mikirin besok daripada hari ini hehehehe
Banyak temannya ya hihihi...
Hapuskalau sering mimpiin masa lalu, missal masa kuliah atau sekolah. apakah itu pertanda kita kurang bersyukur pada masa sekarang mbak?
BalasHapusMacam2 mbak. Bisa jadi hanya kangen masa sekolah atau ya kurang bersyukur. Saya sih biasanya kalau mimpi ngecek ke diri sendiri. Pasti ada yang belum saya selesaikan.
HapusKok aku jarang mimpi. Kalo pun mimpi, bangun tidyr lupa isi mimpiku hihiii...
BalasHapusBtw.. TFS ya mak :)
Enak banget itu Mak. Saya termasuk sering mimpi, bahkan aneh2 lagi mimpinya :)
Hapusmemang paling enak itu tidur nyenyak tanpa mimpi bangun2 rasanya segaaar, tapi kok jarang banget ya bisa begitu :(
BalasHapus