sumber |
Salah satu hal gila terindah yang saya lakukan adalah
menikah dengan suami. Kenapa bisa gila? Karena kami jatuh cinta di saat suami
masih kuliah dan saya sudah bekerja. Usia saya saat itu sudah tak terbilang
muda. Usia di mana sebagian besar teman saya sudah menikah dan punya anak
sementara saya malah jatuh cinta dengan anak kuliahan. Butuh nyali besar buat
saya untuk menerima kondisi bahwa kami saling jatuh cinta. Keberanian yang
lebih besar lagi adalah meneruskan perasaan kami menuju jenjang yang lebih
serius yaitu pernikahan.
Apa yang membuat saya jatuh cinta dengannya? Selain wajahnya
yang ganteng, kemandiriannya yang saya kagumi. Suami kuliah sambil bekerja. Dia
berusaha mencukupi biaya kuliah dan hidupnya sendiri. Memang Ayah mertua,
sebagai tulang punggung keluarga, sudah berpulang saat suami duduk di bangku
SMA. Suami tak bisa meminta kakak-kakaknya membiayai kuliah sepenuhnya karena
mereka sudah memiliki tanggungan.
Saat kami jatuh cinta, suami masih kuliah di semester akhir.
Sebelum lulus kuliah, ia mencoba mengirim surat lamaran dan diterima bekerja. Saat
itu suami bertanya, “Adik, punya rencana menikah kapan?”.
Terus terang, saya bingung juga menjawabnya. Rencana
pernikahan ya di tahun itu. Tapi, saya tahu dia pasti belum siap. Meskipun rukun
menikah itu hanya pengantin lelaki, pengantin wanita, wali, 2 orang saksi, ijab
dan qobul serta sebaik-baiknya mahar adalah tidak memberatkan, realitanya dana
pernikahan berikut tetek bengeknya bukanlah hal yang kecil.
Tanggung Jawab Dana Pernikahan
Teman saya dari NTT, pernah berujar,” Mbak, kalau
ditempatku, maharnya Mbak Rizka itu mahal lho. Apalagi dengan status sudah
bekerja dan kuliah S2. Bisa ratusan juta”
Wow, fantastis. Saya sih senang aja, kalau ada yang sanggup
kasih mahar sebesar itu. Tapi harus menunggu berapa tahun lagi, bisa
mengumpulkan mahar sebesar itu. Jangan-jangan, mempelai laki-lakinya sudah
berumur. Eh, ternyata seluruh keluarga besar ikut iuran untuk mengumpulkan
mahar.
Untunglah di Jawa urusan mahar dan dana pernikahan tidak
terlalu besar. Memang tergantung budaya dan status sosial sebuah keluarga.
Melihat perjuangan suami saya mengatur keuangan demi
keinginan menikah, saya jadi berpikir bahwa kedua mempelai harusnya ikut
bertanggung membiayai pernikahan.
Menikah artinya kedua insan sudah siap mental dan material, termasuk juga dana
pernikahan.
Kapan Mulai
Mempersiapkan Dana pernikahan?
Sederhana dan penuh makna |
Hampir setiap orang pasti ingin menikah. Terutama dalam ajaran Islam, menikah adalah
mengikuti sunnah Rosul. Persiapan biaya menikah tak perlu menunggu memiliki
calon pengantin. Meskipun belum memiliki calon, rencana menikah merupakan salah
satu tujuan hidup kan? Itu artinya mempersiapkan dana pernikahan merupakan
salah satu tujuan investasi.
Beberapa literature yang saya baca, sebaiknya mempersiapkan dana
pernikahan adalah saat pertama kali memiliki penghasilan atau minimal 2-3 tahun
menjelang rencana pernikahan. Dulu suami mempersiapkan dana pernikahan semenjak
dia menerima gaji, namun waktunya kurang dari 2 tahun. Yah, kalau menunggu 3
tahun bisa saya tinggal nikah..hehehe.
Manajemen Want dan
Need
Sejak awal saya kagum dengan pengaturan keuangan suami. Kok
bisa dia menyisihkan uang buat persiapan biaya menikah? Saya cukup tahu lah
kalau gajinya tidaklah besar. Sejak kami berkomitmen untuk meneruskan hingga
jenjang pernikahan, suami sudah berujar, “ Dek, kalau bersuamikan seorang
wartawan, jangan berharap jadi orang kaya ya”.
Iya, profesi suami adalah wartawan di sebuah media cetak
tingkat Jawa Tengah. Bukan berarti mengecilkan arti wartawan ya, tapi memang
gajinya tak besar..hihihi. Ternyata kuncinya adalah, “kalau kamu menginginkan
sesuatu ya harus mengorbankan sesuatu”. Itu adalah jawaban dari suami.
Memang kadang kita tidak bisa membedakan antara WANT dan NEED.
Sering kita membeli sesuatu karena keinginan dan bukan kebutuhan. Akibatnya
pengeluaran menjadi lebih besar dan menggeser pos yang lain. Padahal kalau kita
menurunkan standar hidup, mengganti barang atau jasa yang kita butuhkan dengan
harga dibawahnya, tidak ada masalah kan? Itulah pentingnya manajemen WANT dan
NEED.
Saya masih ingat saat suami dipindah ke Grobogan. Suami
memilih mencari kos yang murah. Makan pun ia jarang bermewah-mewah. Bahkan
semakin mendekati hari H pernikahan, dia selalu menolak diajak makan di luar,
“makan di rumah saja ya Dek, uangnya ditabung buat biaya menikah dan berumah
tangga”. Duh, saya diantara sedih dan terharu.
Bentuk Investasi
Menginvestasikan dana pernikahan bisa dalam berbagai bentuk.
Tabungan dan deposito merupakan bentuk investasi yang paling aman. Logam mulia
atau emas bisa juga menjadi pilihan sekaligus untuk persiapan mahar seperti
yang dilakukan suami. Alternatif lainnya adalah reksadana pasar uang atau
reksadana pendapat tetap.
Sebaiknya untuk memilih investasi yang tepat, konsultasikan
dulu dengan ahlinya atau lembaga keuangan terkemuka. Salah satu alternatif lembaga
keuangan yang menyediakan jasa konsultasi keuangan serta solusi masalah
finansial adalah Sunlife Financial.
Produk dan layanan yang ditawarkan Sunlife Financial meliputi Proteksi, Simpanan dan Investasi, Riders, Baccassurance dan Financial Syariah. Sunlife juga bekerja sama dengan manajer investasi terpercaya dan kelas dunia untuk mengelola dana dan investasi nasabah.
NO Utang = Realistis
Produk dan layanan yang ditawarkan Sunlife Financial meliputi Proteksi, Simpanan dan Investasi, Riders, Baccassurance dan Financial Syariah. Sunlife juga bekerja sama dengan manajer investasi terpercaya dan kelas dunia untuk mengelola dana dan investasi nasabah.
Alternatif lembaga keuangan |
Berbagai sumber keuangan yang saya baca, semua menyarankan
untuk menghindari utang. Ya, hidup kita bukan kisah cinderella kan? Pernikahan
tak sebatas akad dan resepsi, namun kehidupan setelahnya yang lebih penting.
Lebih baik kita menyisihkan sebagian penghasilan untuk kehidupan selanjutnya.
Lebih baik bersikap realistis dengan dana pernikahan yang
kita miliki. Sesuaikan dengan kebutuhan bukan keinginan. Beberapa sikap
realistis saya dan suami adalah meniadakan foto pre wedding, memilih perias
pengantin dan menyewa baju pengantin yang ramah di kantong serta menekan harga kartu
undangan. Harga kartu undangan kami
hanya Rp. 1500,-. Kami berpikir buat apa mahal, toh hanya sekali pakai.
Alhamdulillah meski akad dan resepsi pernikahan kami
terbilang sederhana, kehidupan setelah menikah berjalan baik. Pilihan suami
dalam pengaturan uang untuk dana pernikahan akan kami turunkan kelak kepada
Fatih dan Fattah. Harapannya sih, masa depan mereka berdua lebih cerah dengan
ilmu perencanaan keuangan yang baik.
Daftar Pustaka :
Merencanakan keuangan demi mereka |
Uwoww, akhirnya tayang juga. Aku lagi cari ide niiih
BalasHapusKemarin inspirasinya Papa, yang sekarang mas Anna lah :)
HapusPrinsip suami mb Rizka mirip dengan prinsip suami saya....menurutnya tak apa kita bersusah supayah dahulu, karena hasilnya akan membuat kita senang di kemudian hari..
BalasHapusIya Mbak, itulah yang membuat saya jatuh cinta :)
HapusMbaa.. suka banget sama tagline suaminya.
BalasHapus"Kalau kamu menginginkan sesuatu ya harus mengorbankan sesuatu."
Saya juga kagum dengan pemikirannya Mbak :)
HapusSuamiku kasih sekian, cukup ga cukup harus cukup :D
BalasHapusKalau gak cukup, tambahin sendiri :D
HapusHidup tanpa hutang memang bikin sejahtera :D
BalasHapusterimakasih share nya mbak
BalasHapusSaya kok merinding ya baca judulnya. Iya, soalnya masih single jadi belum mengerti. But, iya juga perjuangan suami mah kerenn amat, demi anak istri mak
BalasHapusDirancang dari sekarang Mbak. Saya juga ikut bantu mengumpulkan dana pernikahan kok :)
Hapuskereennn mak, salut sm perjuangan suaminya, saat kuliah hingga ke jenjang selanjutnya yaitu pernikahan
BalasHapusBetul Mbak, sampai sekarang kalau makan keluar juga mikir2..hahaha..
HapusMasyaAllah... :)
BalasHapusBerakit2 dahulu berenang2 ketepian, ya mba :)
Iya Mbak, saya jadi tersipu dengan perjuangannya :D
Hapuspemikiran jangka panjang seperti itu yang sering dilupakan orang. Maunya menikah dengan pesta yang "wah" habis itu banyak juga yang "wah totalan ng mburi" (wah membayar hutang di belakang-Jawa) hihihi
BalasHapusBetul Mbak, saya memilih yang sederhana dan realistis.
HapusSubhanallah so sweet kisahnya. Alhamdulillah berakhir bahagia :))
BalasHapusAlhamdulillah Mbak :)
HapusWah... baca ceritanya, jadi keingetan cerita sendiri. So sweeeeet....
BalasHapusMiriiiip, suami juga kuliah bayar sendiri, trus waktu nikah kita berdua yang ngelola biayanya. Enggak tega minta sama orang tua, meski katanya itu kewajiban mereka.
BalasHapusWah keren Mbak Wati :)
Hapusbermanfaat bgt suka penjabarannya...itulah sosok imam kita ya, mb
BalasHapussiang malam berjuang demi keluarga....hihiii, inspiring
keren banget dirimu dan suami maak...perjuangannya keren...
BalasHapusSo sweet dan inspiratif
BalasHapusNO Utang = Realistis, saya setuju. Tapi saya masih punya tanggungan hutang nih. hiks..
BalasHapusSaya juga Mas. Khusus untuk rumah saya berutang :)
HapusKerreen Mbak. Pengen niru juga aahh meski blm tau jodoh saya yg mana hihihi! Yg penting persiapan. Sapa tau bsk tiba2 jodohnya dateng hihi (eh aamiin)
BalasHapus