|
Kiddos |
“Gubrak” terdengar suara dentuman yang tak terlalu keras
yang disusul suara tangisan Fatih yang membahana.
Ya, Kamis sore Fatih kembali terpeleset di halam depan. Saat
itu, ia tengah sibuk membawa bekas kaleng cat plastic 5 kg yang diisi sedikit
air. Fatih tengah membantu eyangnya menyiram tanaman. Sementara saya
memperhatikan Fattah yang ikut memutar kran untuk bermain air.
Fatih, kemudian dibantu Yangti untuk bangun. Terlihat
mulutnya berdarah dan air matanya mengalir, “huhuhu, Fatih gak mau gigi
dicabut” isaknya.
Karena jatuh, gigi depan Fatih mungkin goyang, sehingga ia
ketakutan kalau giginya akan dicabut. Saya hanya bisa meminta Fatih untuk
berkumur membersihkan darah di mulutnya. Fatih baru mau mandi setelah Ayah
pulang, itu pun disertai tangisan kesakitan.
Malam hari, saat ia tertidur gelisah menahan sakit, saya
memandangi sambil mengusap punggungnya. Tak terasa air mata mengalir, menatap
mulutnya yang bengkak dan masih mengeluarkan darah. Ya, terkadang saya cengeng.
Terlebih sejak menjadi ibu, mata saya sering berkaca kalau mendengar cerita
kesedihan anak-anak.
|
Muka Fatih Pasca Jatuh |
Pagi hari, saya berhasil membujuk Fatih untuk berobat ke
dokter. Pikiran saya kemudian melantur. Bagaimana nasib anak-anak yang terluka
namun tak bisa ke dokter? Yang tidak ada fasilitas atau bahkan tidak ada tempat
bergantung?.
Tiba-tiba saya teringat Ucil. Kenangan belasan tahun silam
saat masih kuliah S1. Ucil, bukan nama sebenarnya. Bukan saya menyamarkan
namanya. Tapi memang saya tak tahu namanya. Kami semua memanggilnya Ucil, entah
dari mana nama itu. Seperti kesepakatan saja, Kesepakatan dari yang dipanggil
nama dan si pemanggil. Usianya sekitar 9 tahun. Kepalanya plontos dan badannya pun agak kurus.
Saya pun tak tahu asalnya dan datangnya. Tiba-tiba saja, dia
sudah beberapa waktu berada di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fakultas Psikologi tempat saya menuntut ilmu. Ucil pun dengan suka hati
menemani mahasiswa atau mahasiswi yang lembur di kampus. Matanya tampak
menyimak percakapan kami, bahkan ia ikut menimpali.
“Gak apa-apa Mbak, tidur di sini. Nanti kan kursi mejanya
bisa dijadikan pembatas atau ditiduri. Jangan takut, nanti saya yang jagain” ujarnya
menjawab kecemasan saya.
Saya memang sudah berkomitmen, gak mau tidur di kampus. Meski
ada kegiatan sampai tengah malam. Pasti usai kegiatan saya langsung pulang kos.
Bukan apa-apa, gak nyaman aja. Banyak nyamuk.
“Mbak, makan yuk” suara kecilnya memecah kesibukan kami.
Beberapa orang menggelengkan kepala. Memang hanya ada beberapa mahasiswi adik
kelas saya. Tak tega melihat wajahnya yang kelaparan, saya pun mengangguk dan
menghentikan aktifitas.
Kami berdua menuju warung soto di depan kampus. Kulihat
senyum di wajah Ucil menyapa beberapa mahasiswa yang berpapasan. Tangannya
membawa uang receh yang sudah dibungkus plastik. Tak banyak kata yang kami
ucapkan. Saya pun bingung memulai percakapan.
Sambil menunggu pesanan soto, saya ingin menuntaskan rasa
penasaran, “Rumahmu di mana Cil?”.
“Di sekitar sini aja Mbak. Paling kalau tak bilangin, mbake
yo gak ngerti” jawabnya.
“Gak kangen rumah to Cil” tanya saya lagi.
“Gak” jawabnya lagi memainkan uang dalam genggaman.
“Sama bapak ibu? Atau saudara” gali saya.
“Gak Mbak” jawabnya lagi.
“Kamu gak dicariin?” saya masih penasaran.
“Gak. Paling mereka punya kesibukan sendiri” jawabnya sambil
memandang sekeliling.
“Kamu pernah sekolah Cil” tanya saya memindahkan topik
pembicaraan.
“Pernah, sampai kelas 2” jawabnya.
“Gak pengen lanjut?” sambil berharap semoga Ucil masih punya
semangat sekolah.
“Gak ah. Enak begini Mbak” jawabnya lagi.
“Enak begini bagaimana?” tanya saya.
“Iya, enak begini. Ngamen di bis, dapat uang buat makan.
Kalau pengen tidur tinggal di kampus. Kalau sudah gak enak, ya pindah” jawabnya
menutup pembicaraan.
Saya pun terdiam. Tak berani lagi melanjutkan percakapan.
Wajahnya terlihat enggan melanjutkan perbincangan. Kala itu, saya tak tahu
harus berbuat apa. Hanya terasa kekosongan menghampiri. Mungkin keadaan akan
berbeda, jika saat ini saya bertemu dengannya. Mata saya mungkin akan
berkaca-kaca. Ia tak seperti anak kecil lainnya. Tak membicarakan mainan atau
film yang digandrungi. Ia justru menyimak percakapan kami.
Terbayang Ucil yang
berusia 8 tahun menghadapi kerasnya kehidupan. Tak lagi dirasakan bonding
dengan orang tua.Tidak, saya tak ingin menyalahkan orang tua Ucil atau siapa
pun juga. Saya tidak tahu kondisi orang tuanya. Saya hanya membayangkan Ucil
yang seorang diri. Bagaimana jika ia dilukai orang lain? Bagaimana saat sakit
menghampiri?.
Tak lama kemudian, pesanan soto kami pun diantarkan ke meja.
Kami pun menikmati soto yang tak lagi menarik buat saya.
“Mbak, aku nitip uangku ya. Soto semangkuk” ujarnya sambil
mengulurkan uang recehnya.
“Gak usah Cil. Simpan saja uangnya buat makan malam” jawab
saya
“Ah, ojo ngono Mbak. Aku rak penak” tolaknya.
“Udah, uangku masih cukup kok” tolak saya lagi.
Ya, Cil. Hanya itu yang bisa kuberikan padamu. Semangkuk
soto dan seuntai doa, semoga engkau mampu tumbuh dan besar dengan baik. Semoga
engkau dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Semoga engkau saat ini
tersenyum dan bahagia.