Semester ini, saya sedang berkutat dengan bertumpuk-tumpuk laporan pratikum. Salah satu alat tes yang dipratikkan dan dibuat laporan adalah Sack’s Sentence Completion Test atau SSCT. Alat tes ini termasuk tes kepribadian yang berbentuk proyeksi. SSCT berisi pernyataan yang belum selesai dan harus diselesaikan oleh testee atau subyek pratikan.
Beberapa pernyataan berisi
tentang pertanyaan yang berkaitan di masa lalu, saat masih kanak-kanak. Sebagai seorang psikolog, pertanyaan mengenai
masa lalu sangat penting. Terutama jika bertemu dengan klien yang bermasalah.
Biasanya kejadian buruk di masa
kecil seringnya dipendam dan menjadi masalah di kemudian hari. Mending kalau
kemudian dituliskan sehingga menjadi semacam terapi dan memberi manfaat buat
orang lain. Seperti yang dilakukan mbak Anjar
Sundari dengan membagikan pengalaman unik dan berkesanya.
Biasanya saya, ketika bertemu
dengan pribadi yang bermasalah, antara jengkel dan merasa kasihan. Jengkel
karena ia tak kunjung berubah. Kasihan karena dia menjadi korban di
lingkungannya dan kemungkinan orang tua tidak tahu atau tak mampu mengatasinya.
Alhamdulillah kenangan masa kecil
saya banyak yang manis, lucu dan sedikit memalukan. Semua kenangan itu tentang
Bandung. Masa kecil saya habiskan di Bandung, sejak umur 4 tahun hingga lulus
SD. Ada 3 tempat tinggal selama di Bandung. Kompleks Saptamarga saat umur 4
tahun hingga hampir lulus TK. Kebon Kopi Cibeureum hingga hampir kenaikan kelas
2 SD dan terakhir di Antapani Bandung hingga lulus SD.
Diantara kenangan manis, lucu dan
sedikit memalukan , ada juga beberapa kenangan yang kurang mengenakkan atau
menyedihkan. Berantem sama teman sih biasa. Gak sampai berkelahi, biasanya adu
mulut. Tapi habis itu, baikan lagi. Namanya juga anak-anak. Tapi ada juga sih
satu teman yang musuhan terus sampai hampir lulus.
Di depan rumah Sapta Marga Bandung |
Teman sebangku juga tak selamanya
menyenangkan. Ya maklum, kadang teman sebangku ditentukan sama guru, jadi apes
juga pas dapat teman sebangku yang kurang nyaman. Waktu sekolah di SD
Muhammadiyah 7 Bandung, saya malah gak ingat sama sekali siapa saja teman
sebangku saya. Sementara di SD Yayasan Wanita Kereta Api saya malah masih
ingat, ada 2 teman sebangku cowok dan 1 teman cewek yang baik banget tapi saya agak lupa, sebangku atau
tidak.
Punya teman sebangku cowok
menurut saya saat itu kurang menyenangkan. Mungkin gurunya memang memasangkan
cowok dan cewek supaya gak ngobrol saat pelajaran. Saya memang gak ngobrol,
tapi seringnya berantem..hahaha. Cuma adu mulut sih, tapi rasanya tetap gak
enak.
Saya sudah lupa dengan nama-nama
mereka. Hanya sekilas profilnya yang masih ingat. Teman sebangku yang pertama
cowok dengan rambut keriting. Kadang-kadang kami berantem, tapi saya sempat
naksir sama dia..hahaha.
Kebon Kopi Cibeureum |
Yang kedua lah yang paling kurang
menyenangkan buat saya. Seingat saya
anaknya kecil dengan rambut lurus potongan tentara. Sikapnya yang cenderung
kasar dan ‘rusuh’ membuat perasaan tidak nyaman.
Setiap bercakap, ucapannya kasar.
Menurut saya, pergaulan dia mungkin dengan orang dewasa yang tidak
bertanggungjawab. Seringkali, dia menunjuk kolong bawah meja sebagai layar televisi.
“Lihat di bawah kolong meja itu.
Ada perempuan hanya memakai BH, ada perempuan dan laki-laki lagi ciuman dan
bla..bla..”ceritanya sambil wajahnya tersenyum senang.
Kalau saya mau mengadu ke guru,
dia pasti marah dan memukul saya. Kalau saya pura-pura mengikuti kemauannya,
dia sangat senang dan tidak bermain fisik.
Untunglah saya tidak sampai
setahun duduk sebangku dengannya. Menjelang cawu III saya pindahan ke rumah
baru.
Tapi kenangan itu masih melekat.
Saya jadi bertanya, bagaimana dengan dia ya? Kenapa di usia yang begitu muda,
dia sudah berbicara hal seperti itu? Apakah orang tuanya tahu dengan
pengalamannya? Dan masih banyak lagi pertanyaan dalam benak saya, yang tidak
sempat saya tanyakan. Ya, iyalah, pertanyaan itu baru muncul setelah saya
dewasa. Waktu itu, hanya risih dan takut yang saya rasakan.
Pengalaman itu membuat saya merasa harus lebih peka dengan tumbuh kembangnya duo F. Membangun kelekatan dengan mereka berdua, sehingga mereka merasa nyaman bercerita dan mengadu kepada orang tuanya.
Saya dulu, tidak pernah bercerita
kepada orang tua atau pun guru soal teman sebangku itu. Saya hanya merasa risih
dan takut dengan respon orang dewasa ketika saya bercerita. Makanya seringkali
saya bertanya ke Fatih tentang kesehariannya di sekolah. Hal menyenangkan atau
pun yang tidak ia sukai. Saya pun mendorong ia agar mau berterus terang kepada
gurunya hal yang tidak disukai, meskipun itu makanan yang tidak ia suka.
Ah, mudah-mudahan keadaan teman
sebangku saya baik-baik saja. Semoga pengalaman yang ia dapatkan tidak merusak
masa depannya. Jadi kepikiran cerita
teman saya, bisa buat bahan menulis cerpen. Siapa tahu nanti bisa bermimpi buat
novel seperti mbak Nia Nurdiansyah
hihihi.
iya ya mbak, padahal jaman dulu masih minim akses ke tontonan yg begitu.
BalasHapussmg temannya jadi bapak yg baik sekarang
Aku suka sekali mengganti2 tempat duduk anak dudukku, Mbak. Kadang yg suka bikin ulah aku sandingkan dengan yg diam. Memang kelas agak kondusif sih.
BalasHapusKalau soal adu mengadu, ih, anak zaman sekarang mah, hobi. Sekelas 36 anak, yg pendiem nggak berani ngadu paling cuma 1-3 anak saja.
aku juga tipe org yg ga bisa ngadu mba. punya ilmu kebathinan. alias apa2 cuman di bathin. hihihii...jadinya ak jg menerapkan hal yg sama ke anakku. sebisa mungkin menanggap dhaf untuk cerita apa saja :)
BalasHapusDr keluarga broken home x ya mbak kesian sama anak kaya begitu
BalasHapusWaaahh...iya kasian teman sebangkumu itu ya. Semoga saat ini menjadi manusia yg baik2 saja dan tdk terlalu lama terkena ekses tontonannya itu.
BalasHapusYa Allah ngeri ya mbak jaman dulu udah ada yang begitu, semoga sekarang sudah jadi pribadi yang baik :)
BalasHapusAamiin, semoga temannya baik baik saja ya mbaaa dan semga dpertemukan kembalii :)
BalasHapusMbak Riz, saya waktu SD juga punya pengalaman gak enak dengan teman cowok. Waktu itu kami sebangku dan dia punya semua buku meteri pelajaran, sementara saya tidak semua punya. Nah waktu pelajaran yang saya nggak punya buku, dia nggak mau berbagi seperti teman lain. Yaitu bukunya ditaruh tengah supaya bisa dibaca barengan. Ya udah saya cuma dengerin bu Guru aja tanpa bisa baca. Pokonya kesel banget kalau ingat waktu itu mbak :)
BalasHapus* Maaf ya mbak, ternyata tulisan ini kelupaan belum saya BW :)