“Untuk Menjadi Bisa, Berawal dari Belum Bisa. Untuk Menjadi Pandai Seringkali Mengalami Kebodohan”
Bercerita soal pengalaman pertama, membuat ingatan saya melayang ke peristiwa belasan tahun silam. Kala itu saya menjadi mahasiwa semester 3 di jenjang S1. Masih unyu-unyu dan sering dikira masih SMP *dulu pernah langsing.
Makanya saat Mbak Marita Ningtyas dan Dini Rahmawati memilih tema tentang pertama, saya jadi ingat pengalaman pertama menjadi moderator. Sungguh, tak kan terlupa dan menjadi pelajaran hidup yang berharga.
Sejak TK hingga SMA, saya tergolong pelajar yang biasa saja. Nilai pelajaran biasa saja. Kepopuleran di sekolah juga biasa saja. Hingga muka saya yang biasa saja..hihihi.
Sebenarnya, di dalam hati saya, tersimpan hasrat untuk tampil. Setidaknya kalau dari segi fisik, saya biasa saja dengan kemampuan intelligensi yang biasa juga, saya tetap ingin menunjukkan kemampuan yang lain. Saya tetap ingin menunjukkan, “ini lho saya”.
Dulu, saya memilih untuk tampil di depan kelas saat tugas pelajaran Bahasa Indonesia. Biasanya pas ada tema bermain peran. Saya paling suka. Kalau ada kesempatan untuk maju, saya beranikan untuk mengangkat tangan. Dan jauh sebelum waktunya, biasanya saya sudah hafal skenario dan seluruh dialognya. Mungkin saya bakat jadi artis *kipas jilbab.
“Penghayatannya sudah cukup bagus. Suaranya juga disesuaikan dengan suara ibu yang sudah berumur. Hanya saja tempo bicaranya lebih diperlambat Mbak. Yang tadi terlalu cepat” review guru usai saya tampil sebagai ibu Malin Kundang.
Ya, saya memang masih grogi kala itu, sehingga tempo bicara seperti di kejar setan hihihi. Makanya saat diterima di Universitas Muhammadiyah Surakarta prodi Psikologi, saya bertekad untuk lebih percaya diri saat tampil di hadapan publik.
Langkah yang saya ambil untuk mewujudkan tujuan lebih percaya diri berawal dari hal yang sederhana. Berani bertanya dan berpendapat dalam perkuliahan. Sungguh, bagi saya ini bukan hal mudah. Ketakutannya, kalau pertanyaan saya tidak berbobot. Padahal, saat kita urung bertanya, ada teman yang pertanyaannya persis dengan tema yang ingin ditanyakan.” Duh, tadi aku juga pengen tanya soal itu”, dengan rasa sesal.
Langkah berikutnya adalah bergabung dengan organisasi kemahasiswaan. Harapan saya dengan bergabung kesempatan dan dorongan untuk belajar lebih besar. Dulu sih saya berusaha untuk tidak melewatkan kesempatan dan kepercayaan yang diberikan teman-teman. Urusan masih kagok belakangan lah.
Hingga tiba menginjak semester 3 saya terlibat kepanitiaan mahasiswa baru di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Acaranya bernama MASTA yang terkenal juga di dunia jomblo. Kok? Iya, singkatannya Masa Ta’aruf #ea.
Alhamdulillah, saya dapat kesempatan menjadi moderator #duh. Kok duh? Karena itu adalah pengalaman pertama saya berbicara di hadapan orang banyak. Tidak sekelas pembicara sih. Tapi kan tetap berasa jadi pusat perhatian di antara Maba alias Mahasiswa Baru.
Tapi, ingat prinsip pertama, tidak melewatkan kesempatan, maka saya iyain saja. Tentunya saya minta contekan juga. Rundown acara sebagai moderator. Mulai dari salam pembuka, kata pembuka untuk masuk tema, membacakan biodata pembicara, kesimpulan dan penutup. Dan kesemuanya lengkap termasuk tanda baca, titik dan koma.
Semuanya saya catat dalam sebuah kertas yang dilipat kecil. Biar gak kelihatan kalau nyontek. Seminggu sebelum hari H, saya berlatih di depan cermin. Menghafalkan kata dari A hingga Z sambil memperhatikan mimik muka dan gaya tubuh. Yah, biar kelihatan luwes dan tampak percaya diri.
Hingga tiba di hari H, saya memasuki ruangan bersama pembicara. Setelah pemandu kelas menyerahkan acara selanjutnya, saya mulai membuka dengan salam pembuka, sambil sesekali melirik catatan untuk meyakinkan diri.
Saya masih deg-degan, makanya saya masih bergantung dengan catatan dalam kertas kecil. Di detik-detik terakhir, pembicara mengakhiri percakapan, perubahan terjadi dalam sekejab dan saya menghadapi dilema.
“Ambil, jangan..ambil, jangan” batin saya bergolak sambil melihat kertas contekan yang tergolek di bawah lantai.
Sementara teman saya yang bertugas sebagai pemandu kelas, menahan tawa melihat kejadian itu. Kalau saya ambil, pasti kelihatan itu kertas contekan. Kalau tidak, sungguh saya tidak hafal salam penutupnya.
“Demikianlah materi dari pembicara. Mohon maaf apabila ada kesalahan. Akhir kata, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh” tutup saya terburu-buru dengan pikiran melayang berusaha merangkai kata.
Hahaha, itulah pilihan saya, untuk mengabaikan kertas contekan. Meski dalam hati saya merutuki kertas contekan yang jatuh. Pengalaman itu tidak sesuai dengan harapan saya. Tapi itu langkah besar saya untuk lebih percaya diri berbicara di hadapan orang. Selanjutnya langkah itu lebih mudah. Karena tidak ada sesuatu yang langsung pandai. Asa Bisa Karena Biasa.
ikut deg degan bacanya mbak, alhamdulillah bisa menutup acara dengan sukses ya.. eh, btw dulu juga saya sering banget gak pede kalau mau tanya pelajaran, ketakutan yang sama mbak, takut gak berbobot. hehe cemen banget deh
BalasHapusBangga padamu mba Riz, meski pertama tapi kita harus belajar berani menghadapinya
BalasHapus