Sabtu, 25 Nopember adalah Hari Guru Nasional. Selain orang tua, guru adalah urutan selanjutnya yang memiliki andil yang besar dalam perjalanan hidup saya. Andil guru, lebih dari ¾ umur saya. Bahkan hingga saat ini, beberapa diantaranya masih berhubungan dengan baik.
Mungkin itulah yang mendasari mbak Relita dan Mbak Yuliarinta mengambil tema Pengalaman Berkesan Bersama Guru untuk periode Arisan Blog Gandjel Rel ke 16.
Flashback ke kenangan berpuluh-puluh tahun yang lalu dengan guru, sangat lah banyak. Mulai TK hingga pendidikan Magister Profesi. Karakter guru yang beragam, tentunya memunculkan pengalaman yang beragam. Pernah ada beberapa pengalaman mengecewakan, namun pengalaman indah lebih banyak.
Pengalaman mengecewakan, sebatas hanya pengabaian dan merasa kurang di dengar dan kurang dianggap. Yah, apalah saya yang kecerdasannya biasa saja dibanding dengan teman sekelas yang selalu jadi juara. Saat saya menyampaikan sesuatu tidak dianggap, namun ketika sang juara yang menyampaikan dengan isi yang sama langsung ditanggapi *duh sakitnya tuh di sini.
Kenangan indah lebih banyak lagi. Dongeng di saat guru Diniyyah terlambat datang atau berhalangan hadir. Guyonan, gara-gara tidak bisa bahasa Jawa. Konsultasi di luar kuliah serta pelatihan gratis yang diberikan saat duduk di bangku kuliah.
Namun, kenangan yang tidak pernah terlupa adalah kenangan tentang Pak Jarno, guru Matematika saat SMP. Kenangan menyenangkan sekaligus memalukan dalam satu waktu.
Matematika Yang Menyenangkan
Bagi sebagian orang, Matematika mungkin pelajaran yang ditakuti. Tapi saat SD dan SMP, Matematika bagi saya pelajaran yang cukup menyenangkan. Beberapa kali saya malah mengutak atik rumus. Rumus yang paling saya ingat, rumus pohon faktor.
Saat SD, beberapa teman bahkan mendekat saat pelajaran Matematika. Menjelang SMP, saya barter saat pelajaran Matematika. Teman saya membacakan soal, nanti saya membantu dia mengerjakan soal. Kenapa begitu, karena mata saya sudah minus, tapi saya enggan periksa mata..hahaha. Setelah pakai kacamata, saya tidak bergantung lagi dengan teman.
Ulangan Mendadak
Sesuka-sukanya saya dengan Matematika, kalau ada ulangan mendadak tetap saja menakutkan. Lah, belum belajar dan memang belajar hanya saat ada PR atau ulangan..hihihi.
Seperti di suatu pagi saat pelajaran Matematika. Pak Jarno, masuk ke kelas seraya berkata,” Keluarkan kertas selembar, hari ini ulangan harian”.
“Haaaa? Kok mendadak pak?” sontan seluruh kelas protes.
“Saya memang mau mencek, penguasaan kalian dengan materi-materi kemarin. Tidak ada protes. Mau tidak mau. Suka tidak suka tetap ulangan” tegas Pak Jarno.
Jadilah, dengan persiapan ala kadarnya saya pun mengikuti ulangan dengan pasrah dan cemas dengan hasilnya.. Kadarnya, semalam tidak belajar sehingga hanya mengandalkan ingatan semata,
Senang Bercampur Malu
Beberapa hari kemudian, jam pelajaran Matematika, jumpa lagi dengan Pak Jarno yang membawa setumpuk kertas ulangan. Pembagian hasil? Ternyata bukan. Pak Jarno membagikan kertas ulangan yang belum dikoreksi untuk dibagikan ke seluruh anggota kelas.
“Hari ini, soal ulangan kemarin akan dibahas. Kalian mengoreksi hasil ulangan teman. Jangan sampai ada yang pegang kertas ulangannya sendiri. Setelah itu, saya akan panggil satu persatu nama kalian. Teman yang mengoreksi silakan membacakan nilai hasil ulangannya” jelas Pak Jarno.
Usai soal ulangan dibahas penyelesaiannya. Pak Jarno pun memanggil nama kami satu persatu. Saya terus terang deg-degan dengan hasilnya. Karena sedari tadi baru Khamdani yang nilainya di atas 7, sedang yang lain di bawah 6.
“Rizka Alyna” suara Pak Jarno terdengar menggelegar di telinga saya yang degub jantung berdebar lebih kencang karena cemas.
“Tujuh Pak” terdengar suara teman sekelas menyebutkan nilai ulangan.
Aah, deg-degan saya berganti dengan perasaan lega yang membuncah. Semacam ada balon yang membesar di dalam dada dan perasaan hangat yang menyelubungi. Sesaat saya sibuk dengan rasa syukur. Saya lupa dengan sekelilingnya yang mulai riuh usai Pak Jarno menyebutkan sebuah nama.
“Sapto. Sapto, siapa yang pegang punya Sapto” tanya Pak Jarno.
“Eh, kamu kan pegang punya Sapto. Ditanya tuh nilainya” senggol teman saya.
Ah, iya saya lupa kalau nama Sapto dibelakang nama saya. Saya jadi gelagapan dan segera menyebutkan nilai Sapto. Tapi dasar saya hobi melamun. Usai menyebutkan nama, saya masih melanjutkan lamunan, kembali tak perduli dengan sekeliling.
“Eh, kamu ditanya Pak Jarno lagi tuh” senggol teman saya lagi.
Tanpa pikir panjang, karena pikiran belum move on. Suara Pak Jarno, yang diterima di otak saya, “Punyanya siapa tadi Mbak?”.
Sontak, dengan suara lantang dan mantap, “SAPTO Pak”.
Sedetik kemudian, saya disambut oleh keriuhan dari seluruh keras termasuk suara tawa pak Jarno yang menggelegar.
Saya kebingungan dan menatap teman sebangku,”Loh, kenapa to?”
“Pak Jarno, tanya kamu mikirin siapa Riz” jelas teman saya, antara geregetan dan geli.
OMG *gaya anak sekarang. Astaghfirullah, saya langsung menunduk dan menutup muka. Malunya itu lho. Malu dengan Pak Jarno, malu dengan teman sekelas dan terutama malu dengan Sapto. Sepanjang jam pelajaran, saya terdiam, bingung harus bersikap saat nanti melihat senyuman teman berikut cie-cieannya. Terutama saat berhadapan dengan Sapto.
“Beneran mikirin aku juga gak apa-apa” respon Sapto singkat sambil tersenyum saat saya menjelaskan dan meminta maaf.
Aih, muka saya semakin memerah karena bertambah malu. Pengalaman itu hingga sekarang membekas dan membuat saya tidak pernah melupakan Pak Jarno berikut Sapto..hahaha.
Matematika oh matematika, pas smp termasuk pelajaran yg horor bagi saya mb..gurunya ngga enak neranginnya, udah gt 3 th diajar beliau, alhasil nilai uan smp jeblok..hiks. Salah saya jg si ndak inisiatif les atau minta diajari teman..hehe,jd curhat :(
BalasHapuswkwkw.... Sapto oh Sapto... Kenangan indah masa sekolah ya mbak..
BalasHapusTerus apa kabar Sapto sekarang? 😀😀
BalasHapus